Tuesday, 7 June 2011

Ramadhan 2007

Ramadhan 2007, ramadhan yang tidak terlupakan dalam hidupku. Ramadhan pertama sebagai istri, ramadhan pertama jauh dari keluarga, dan ramadhan pertama menjejakan kaki di negri jiran.
Masih terekam jelas dalam ingatan, pagi yang cerah di Ramadhan hari ketiga. Mamah, Apa dan Kakak-kakaku semuanya lengkap mengantarkan ke Bandara, mengikuti suamiku belajar di negri tetangga.  
Jika ingat hari itu, rasanya tak percaya aku mampu menjadi istri yang mandiri. Pergi ke negri antah berantah, temmpat yang belum pernah dikunjungi, bersama suami yang masih memakai tongkat karena kecelakaan yang dialaminya tiga bulan sebelumnya. Dengan dua tas ransel yang ku cangklokan di punggung dan juga di dada, seperti ibu hamil yang membawa tas gendong. Ditambah dengan dua koper yang disimpan di bagasi. Perjalanan yang tidak mudah, karena saat itu tidak ada pesawat yang langsung sampai  Johor. Ada dua alternative yang bisa kami pilih, naik pesawat sampai Kuala Lumpur lalu melanjutkan dengan Bis ke Johor. Pilihan  lainnya kami terbang sampai Batam, lalu melanjutkan dengan Feri ke pelabuhan situlang laut, Johor. Suamiku memilih pilihan kedua, karena kakinya belum sanggup untuk naik turun Bis dengan tongkat, ditambah dengan beban tas yang harus kubawa. Tak terbayang seperti apa. Sementara jika lewat Batam, ada kawan yang menjemput kami di Bandara dan mengantarkan kami ke Pelabuhan. Pilihan yang tampaknya lebih mudah.
Tibalah saatnya kami meninggalkan Paris Van Java menuju Negri darul Takzim. Meski kucoba menahan, namun buliran air mata ini mengalir pelan dari pelupuk mataku. Terpisah jarak dengan keluargaku bukanlah hal yang asing bagiku. Semenjak remaja aku telah merantau ke kota untuk sekolah. Namun kini, terpisah jarak yang tak mungkin ditempuh dengan jalan darat, dalam jangka waktu yang tak sebentar. Menghabiskan Ramadhaan jauh dari orang – orang tercinta.
Pesawat yang membawa kami menuju Batam, terbang meninggalkan langit Bandung dengan mudahnya. Menghilangkan sejenak kekhawatiranku akan perjalanan yang nanti akan kuhadapi. Sesampainya di Batam, seorang kawan telah menunggu kami. Kawan yang belum pernah berjumpa sebelumnya, hanya berbekal sebuah prasangka baik diantara kami.
Subhanallah, meskipun baru berjumpa, beliau sangat membantu kami selama proses transit di Batam ini. Perjalanan jadi terasa ringan.
Tibalah saatnya kami menaiki kapal Ferri cepat. Ukurannya kecil, namun berlayar dengan kecepatan tinggi.  Membuat goncangannya terasa sangat kuat. Apalagi kami pergi menjelang petang, dimana ombak laut terasa lebih kuat. Jujur, rasa takut menyergap hatiku, kugenggam erat tangan suamiku, sembari hati ini senantiasa berdzikir mengingatnNya. Beruntunglah kami karena diperjalanan itu kami bertemu dengan seorang Ibu cantik yang juga berasal dari Bandung. Beliau bekerja sebagai dosen disebuah kolej di kota Tinggi, Johor. Sehingga kuhabiskan waktu berbincang dengannya, mencoba melupakan buaian ombak yang membuat jantungku berdegap lebih cepat.
Lembayung senja menyambut kedatangan kami di negri Johor. Alhamdulillah, kami sudah ditunggu oleh dua orang teman suami, mereka sengaja menjemput kami. Aah senangnya.
Kereta yang kami tumpangi perlahan meninggalkan pelabuhan Situlang laut. Aroma udara yang hangat mengingatkanku pada tanah airku. Ya negri tetangga ini tak jauh berbeda dengan negriku, serasa belum menginjak luar negri.
Hingga ketika suamiku bertanya, “Dek, kita sudah sampai di luar negri lho!”
Akupun hanya tersenyum simpul, dalam hatiku berkata, aaah rasanya sama dengan di negri sendiri.
Tak berapa lama kereta* melaju, adzan maghrib sayup terdengar. Ya, sayup saja, berbeda dengan saat berbuka di negri tercinta, dimana suara muadzin terdengar bersahutan dari semua penjuru. Aku masih ingat, saat itu kami membatalkan diri dengan sebuah permen. Namun tak lama kami singgah di Danga Bay, sebuah tempat wisata, untuk menyempurnakan berbuka kami hari itu sekaligus menunaikan shalat maghrib.

No comments:

Post a Comment