Usia beranjak, dan cerita tentang kehidupan nyata dalam sebuah pernikahanpun kuketahui. Ada yang langsung bercerita padaku ataupun mereka menceritakan tentang masalah orang lain. Terkadang, ada beberapa cerita yang tak sengaja kudengar. Maklum, mereka menganggapku anak kecil yang tidak akan sebegitu perhatian terhadap obrolan mereka, tapi nyatanya entah kenapa kupingku selalu menangkap apa yang mereka bicarakan. Bukan bermaksud 'nguping' ya, tapi memang terdengar
Dari semua cerita yang menghampiri dan memasuki pendengaranku,hampir semuanya berisi tentang masalah. Dan dari semua masalah yang terungkap, saat itu aku mendapat kesimpulan bahwa 'Laki-laki egois, mau menang sendiri, harus selalu dituruti, dan gak mau mengakui kelebihan istrinya'
Weisssssssssss dahsyat banget ya prasangkanya. Tak bagus memang. tapi entah kenapa kesimpulan itu bertengger di kepalaku. Tak semua laki-laki tentunya, tapi sebagian besar, most of them, specially a Man form Indonesia
Sebenarnya, bagiku tidak masalah untuk ta'at terhadap siapapun selama hal yang harus kutaati itu memang layak untuk dita'ati. Tak masalah juga kalo aku harus mengalah, asal bukan mengalah untuk sesuatu yang prinsip. Yang menjadi masalah adalah, ketika keta'atan itu harus 'saklek', tanpa penjelasan yang rasional, hanya bermodalkan kata 'Istri wajib Ta'at pada suami'. Oh noo, I am not agree
Memang (kuakui) dari kecil si rela ini tidak bisa kompromi sama anak cowok yang seenaknya, mau menang sendiri, dan semena-mena. Pasti kulawan
Nah, prototype bahwa kebanyakan lelaki itu egois, mau menang sendiri dan susah diajak berdisukusi mulai menghantui alam sadar dan bawah sadarku. Sehingga, hal ini mempengaruhi juga keinginan untuk menikah muda itu.
Coba bayangkan ketidak sinkronan ini, ingin menikah tapi takut jika sang pasangan hidup adalah lelaki yang egois dan tidak rasional, hanya mengedepankan 'kelelakiannya' saja.
Gak nyambung kan? Bagaimana mungkin menikah, tapi takut dengan lelaki. Masa menikah dengan perempuan, Haram itu namanya
Mungkin akan timbul pernyataan ini, 'Pilihlah lelaki yang tidak egois, kenali dia baik-baik'.
Seberapa jauhkah kita bisa mengenal calon kita?
Berdasarkan hasil pengamatan, seberapa lamapun seseorang itu berkenalan atau berpacaran dengan calonnya, maka masa pacaran itu tidak bisa memberikan jaminan bahwa si calon sudah dikenal seutuhnya. Banyak hal -hal yang tidak terduga yang baru diketahui pasangannya setelah menikah.Begitupun dengan orang-orang yang menceritakan atau terdengar masalahnya ditelingaku, mereka mengalami masa pacaran dahulu sebelum menikah. Jadi pacaran atau tidak, lama atau tidak, bukan jaminan kita mengenal baik pasangan kita.
Selain itu, ketika saatnya usiaku memasuki tahap pantas menikah, alhamdulillah Alloh memberikan pemahaman, bahwa pengenalan pada suami yang intensif adalah setelah akad terucap. Dalam pemahamanku, bahwa islam tidak mengenal pacaran sebelum menikah.
Kefahaman tentang tidak adanya pacaran itu juga makin menguatkan keinginanku untuk menikah muda. Karena jujur, sebagai manusia biasa sering terlintas 'iri' dalam benakku ketika melihat seseorang berpacaran. Iri karena ingin juga bisa berjalan bersama dengan seseorang, bergandengan tangan, menceritakan kisah hari-harinya kepada pasangannya, namun tentu saja dengan seseorang yang sudah halal di hadapan Alloh swt.
Namun sekali lagi, ketakutan tentang lelaki asing, seseorang nan egois masih bertengger setia dalam benaku. Jadi, meskipun keinginan menikah itu ada, namun tidak pernah terungkap, tidak pernah diusahakan, dan tidak terealisasi tentu saja. Karena diriku masih takut akan sosok lelaki asing nan egois.
Hingga ketika ada lelaki yang baik berniat baik terhadapku, wajahku memucat, berkerut dan hari-hariku menjadi muram. Ya muram, sahabatku tau tentang itu. Muram karena aku merasa bingung. Dia lelaki yang baik, tidak ada alasan untuk berkata tidak, namun hatiku dihinggapi rasa tak tenang yang begitu dalam. Hingga sahabatkupun berkata,
"Pasangan itu seperti puzzle, yang akan saling mengisi satu sama lain. Tak mestilah puzzle yang pas dengan puzzle kita itu adalah puzzle yang paling bagus"
Begitulah, akhir yang bisa ditebak.
Lama waktu berselang, aku menyadari bahwa keputusaanku saat itu karena aku masih menyimpan ketakutan akan sosok laki-laki asing nan egois. Memang tidak ada yang salah dengan dirinya, hanya diriku memang belum siap kala itu, belum siap secara psikologis menerima seorang yang asing dalam hidupku.
Keputusan yang tidak pernah kusesali, karena kuyakin Alloh pastilah mempunyai rencana yang indah untukku, Dia mengajariku dengan kehidupan dan pengalaman. Hingga akhirnya aku siap, nanti.
Mengenali diri sendiri, itulah kurasa salah satu kunci untuk menyelesaikan berbagai pertanyaan hidup. Begitupun untuk mengatasi ketakutanku akan sosok Lelaki asing, sang qowam dalam hidupku. Aku takut jika aku harus menta’ati sesuatu yang tidak sesuai dengan hatiku, dengan pemahamanku, dengan keyakinaku. Maka kumerasa bahwa aku harus mencari lelaki yang mempunyai visi yang sama denganku. Adalah sulit bagiku untuk ta’at dengan penuh keihklasan jika tanpa kefahaman. Olehkarenanya aku harus faham atas setiap permintaan yang terucap dari qowamku, artinya aku harus mencari orang yang sefaham denganku, agar mengurangi berbagai friksi yang terjadi nanti, semoga. Dan juga tentu saja memudahkanku untuk mencari pahala syurga, dengan bentuk keta'atan yang penuh keikhlasan pada suamiku kelak.
Begitulah, perjalanan untuk menghilangkan ketakutan akan sosok lelaki asing nan egois memasuki tahap mencari seseorang dengan visi yang sama. Tak peduli suku, kekayaan, tampang maupun lingkungan. Sebuah ikhtiar untuk mengalahkan ketakutan. Karena aku sadar, aku harus segera menyembuhkan ketakutanku ini. Karena, pernikahan adalah sesuatu yang sunah dan bisa menjadi wajib tergantung kondisi. Dan itu akan sulit jika ketakutan itu masih bersemayam dalam benakku.
Pencarian seseorang yang se-visi ini haruslah sejalan dengan perbaikan diri. Ya memperbaiki diri sendiri terlebih dahulu. Bukankah Alloh akan memasangkan seseorang yang sepadan dengan kita?
"Perempuan-perempuan yang keji adalah untuk yang keji pula dan laki-laki yang keji untuk wanita-wanita yang keji, sedangkan wanita-wanita yang baik untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik juga diperuntukkan bagi perempuan-perempuan yang baik….” (QS.24:26)".
Maka tak pantaslah rasanya kita meminta seseorang yang baik, jika kita tidak berusaha memperbaiki diri kita. Bukan hanya semata-mata untuk mendapatkan jodoh tentunya, tapi untuk mendapatkan posisi yang terbaik di hadapan Alloh, insyaAlloh.
Masa pun berjalan, beberapa niat baik pun terlewat karena visi. Ya, visi yang berbeda, cara pandang yang berbeda, terutama cara pandang mereka tentang muslimah dan perannya sebagai hamba Alloh swt. Point itu menjadi penting bagiku, karena aku seorang hamba Alloh. Dan bukankah tujuan hidup kita adalah untuk menyembah padaNya?
Ikhtiarku untuk menyembuhkan ketakutanku tidak berhenti hanya dengan mencari seseorang yang se-visi, tapi juga dengan membaca banyak buku, diantaranya buku tentang pernikahan. Mempersiapkan diri tentang kehidupan seperti apa yang nanti insyaAlloh akan kujalani, kujalani selama sisa hidupku.
Aku juga berusaha untuk makin mengenal Rabb-ku, karena kusadari bahwa jawaban dari semua ketakutanku adalah adanya keikhlasan dalam hatiku. Ya sebuah keikhlasan akan pilihan yang nanti Alloh tetapkan, siapapun dia egois atau tidak. Aku juga harus belajar lagi untuk senantiasa berhusnuzhon terhadap semua rencana Alloh. Bukankah setiap rencanaNya pasti berakhir dengan indah? Hanya saja, sering kita terlalu berprasangka buruk, dan merasa takut akan perasaan yang kita timbulkan sendiri. Seperti ketakutanku akan sosok lelaki asing itu.
Proses penyembuhan yang yang panjang dan lama, mempersiapkan jiwa yang rapuh. Bukan hanya menyembuhkan ketakutan akan sosok asing. Tapi menguatkan dan memahamkan keikhlasan dan rasa tawakal lebih dalam lagi pada jiwaku. Keikhlasan dan tawakal, kunci akan ketakutan terhadap hal-hal duniawi. Proses yang tak pernah kuyakini pasti kapan akan berakhir dan kapan aku akan dinilai siap. Aku hanya percaya, Alloh punya skenario yang baik dan terindah untukku.
Hingga tiba saatnya satu amanah datang lagi menghampiriku. Amanah diatas beberapa lembar kertas yang harus kupelajari baik-baik, kupertimbangkan dan kuberikan keputusan.
Saat itu aku merasa mungkin kini tibalah saatnya, saat dimana Alloh telah mempersiapkan jiwaku untuk SIAP. Ya serta merta tanpa banyak pertimbangan dan tanpa tahu apa alasannya aku merasa siap untuk definisiku saat itu. Aku siap untuk menerima lelaki asing dalam hidupku, insyaAlloh.
Meskipun aku tidak mengenalnya sebelumnya, dan tentunya tidak tahu apakah dia seorang yang egois atau tidak. Namun berbekal kepercayaan bahwa dia seorang yang baik dan dipilihkan oleh orang yang baik, maka saat itu aku yakin aku insyaAlloh SIAP dengan sosok lelaki asing, siapapun dia. Aku kuatkan hatiku bahwa Alloh pasti akan memberikan yang terbaik menurutNya. Bukankah aku telah meminta padaNya kriteria seperti apa yang kuinginkan, aku telah bercerita, aku telah mengatakan pada Rabb Semesta Alam. Sekarang tinggal menunggu, menunggu keputusan apa yang terbaik yang akan Dia berikan padaku.
Tapi ternyata cerita masih harus berlanjut. Alloh mengujiku, sedang menempaku dengan proses yang kujalani itu. Proses yang berakhir dengan tidak baik, dan cara yang juga tidak mengenakan.
Kecewa ? Tentu, sangat kecewa. Tapi bukan kecewa karena tidak berakhir dengan baik, ataupun karena aku telah memiliki rasa padanya dan ingin bersanding dengannya. Tapi kekecewaan yang sulit di definisikan dengan kata-kata dan mungkin sulit dimengerti oleh yang lain.
Aku kecewa karena, aku telah terlanjur menaruh harapan yang begitu tinggi pada sosok lelaki yang tampak shalih dari luar. Aku menaruh dalam pundak mereka sebuah kesempurnaan, sebuah visi yang jauh mengangkasa ke langit. Sosok penerus para Nabi, menyebarkan kebaikan di muka bumi. Aku lupa bahwa mereka adalah manusia, yang memiliki ketertarikan tersendiri, sisi kemanusiaan yang tidak mungkin dipungkiri. Sosok lelaki shalih di zaman ini tak lah sesempurna manusia agung, Muhammad Rasulullah saw. Dan begitupun dengan dirinya, dia tidak sempurna, dia menunjukan sisi kemanusiaanya, sehingga cerita kami berakhir pada sebuah akhir yang tak enak dipandangan manusia.
Saat itu aku ditempa, aku diajari, dan aku disiapkan oleh Rabb pemilik jiwa, bahwa dibalik perasaanku bahwa aku SIAP, ternyata Alloh masih menilai ada yang kurang dariku. Aku masih mempunyai angan yang terlalu tinggi dan tidak manusiawi terhadap seorang manusia biasa. Alloh lebih menyiapkanku lagi dengan peristiwa ini, mentarbiyahku lagi, bahwa siapapun Qowamku nanti, dia adalah manusia biasa, sama sepertiku. Seseorang yang masih diliputi berjuta sisi kemanusiaan, yang bahkan mungkin tak terbayangkan sebelumnya.
Dan sekali lagi, aku bersyukur atas tempaanya. Karena dilain hari aku menyadari, bahwa Alloh juga telah mengabulkan do’aku dengan peristiwa itu. Do’aku agar aku memiliki pendamping yang se-visi, dan ternyata kejadian itu menunjukan bahwa dia tidak se-visi denganku. Alloh Maha Tahu, bukankah begitu?
Meski akhirnya kusadari hikmah yang begitu besar atas kejadian itu, namun tetap saja pada mulanya kejadian itu menimbulkan rasa ketakutan terhadap Lelaki asing nan egois yang tadinya mulai sembuh, sedikit muncul kembali. Aku mengalami masa kerapuhan, masa dimana aku tidak lagi bisa mempercayai sosok laki-laki manapun, bahkan laki-laki dengan visi yang sama denganku. Adakah lelaki yang baik, yang menggantungkan cinta hanya pada RabbNya?
Namun, Alloh kembali mengingatkanku melalui seorang adik manis dan lugu. Dia mengingatkanku kembali akan arti keikhlasan dan rasa tawakal, serta untuk senantiasa berhusnuzhon pada Alloh swt dalam kata-kata sederhanya. Hingga setelah berbincang dengannya, aku merasa kembali siap, ya siap untuk kembali menerima lelaki asing dalam hidupku, lelaki asing yang memang telah Alloh takdirkan untuk menjadi pendampingku, nanti.
Usia 25 tahun lebih 4 bulan, Alloh mengijinkanku untuk menggenapkan separuh dienku. Bersama lelaki yang tidak kukenal, dan tidak kuketahui riwayat keegoisannya. Apakah egois atau tidak.
Menjelang empat tahun pernikahan kami, ternyata hidup bersama lelaki asing itu tidaklah begitu mengerikan. Tentu ada tangis, ada kesal, ada marah dan juga dipenuhi dengan ketidaksempurnaan. Tapi ternyata kehidupan yang indah telah Alloh hadirkan, selama rasa syukur selalu menyelimuti hati kami berdua. Selama rasa ikhlas dan tawakal selalu mengiringi terhadap setiap keputusan yang Alloh tetapkan, serta selama husnuzhon masih bertengger dalam jiwa kami.
Pembentukan pemahaman yang begitu lama, menghabiskan waktu, kesabaran dan air mata. Sebuah tarbiyah yang tidak pernah kusesali, namun senantiasa kusyukuri. Mungkin aku bukan pemenang lomba menikah termuda. Tapi aku yakin, kapanpun saat kita menikah, itulah saat terbaik yang Alloh berikan untuk kita.
Xenophobia akan lelaki asing nan egois, mengantarkanku pada lika liku perjalanan kedewasaan yang panjang yang Alloh swt berikan. Membuatku lebih arif dalam memandang hidup. Bahwa tentu saja sebagai seorang manusia kita senantiasa dihinggapi berjuta perasaan takut. Namun, rasa takut itu harus kita cari obatnya, bisa yang instan ataupun lama dan penuh perjuangan. Mana-mana yang terbaik yang bisa kita usahakan. Dan tentunya dengan penuh keyakinan bahwa Alloh akan setia mendampingi selama prosesnya.
Satu point penting lagi, perjalananku mempersiapkan diri menerima lelaki asing itu membuatku bisa lebih bijak memandang pernikahan. Bahwa kesiapan antara satu orang dan yang lainnya untuk menikah tidak bisa disamaratakan. Tak bisa kita mengojok-ojok orang untuk menikah seenak udel kita. Masing-masing kita berproses menuju kedewasaan serta kesiapan. Dan menikah memerlukan kesiapan dan kedewasaan psikologis, sosial, materi dll. Itu menurutku.
Alhamdulillah ala kuli hal...
hhmmh.. memang upi memberikan banyak inspirasi dalam kehidupan rela.. B-)
ReplyDelete*kabuuuuuuuuuuuuuuurrrrrrrrrrrrrrrrrrrr................... he..he..
ternyata lelaki itu...ehm..
ReplyDeleteAku takut menikah karena alasan yang sama...
ReplyDeleteJd sudah menemukan kepingan puzzle yg sesuai? ;)
ReplyDeletedulu sayah juga ingin menikah muda, tapi setelah liat teman yang menikah muda jadi hoream hahaha ... (ternyata masih senang main :D)
ReplyDeletekemanapun dirimu kabur, kau tidak pernah bisa beranjak dari hatiku...
ReplyDeletecieeeeeeeeeeeeeeeeee ... swiiittt :p
eheeeem juga :)
ReplyDeletelalu, bagaimana Uni bs 'sembuh' dari ketakutannya?
ReplyDeleteinsyaAlloh, semoga
ReplyDeletehahahahaha..... bodor ah, tapi memang alasan yang masuk akal oge ..
ReplyDeleteku dulu juga takut2 nikah.. begitu dapat eh beneran dengan pikiran kita, bahwa lelaki itu seenakudelnya.. tapi disitu kita jadi belajar kan ya.. kapan kita tahu dan merasakan kalu kita tak alami..
ReplyDeleteTetehhhhh hebat euy selalu ikut lomba2 dengan tulisan2 bagus
ReplyDeleteteteeehh aq padamu...(hug)
ReplyDelete:)
ReplyDeletealhamdulillah suami saya sesuai do'a saya kepada Alloh mbak ..
ala kuli hal, bagaimanapun sifat suami kita..itulah pasangan yang terbaik menurut Alloh
bukan begitu? ^___^
gak ko Ma, gak selalu ikut lomba.. ini mah kebetulan lagi ada yang pas..
ReplyDeletetulisannya juga masih belajaaaaaaaar.. belajar cara menulis yang baik dan benar..
heuheu jadi inget pelajaran bahasa endonesiah ... *__*
aku padamu juga.. eh ini siapa yaa? lupaaa kok gak ada putunya ..
ReplyDeleteneng ipeh ini teh?
Hehe.. Ternyata "berliku" juga ya menemukan potongan "puzle" yang cocok :)
ReplyDeleteKalo di angkatan kita yang juara lomba nikah muda siapa ya??
bukan hanya menemukan puzzlenya cca, tapi yang terutama adalah menyembuhkan ketakutan itu ..
ReplyDeletesiapa ya? kalo di matematika sih tati, pas tingkat 3 atau 4 awal kl gak salah. tapi ada anak Fisika, Ray kalo gak salah namanya, pas kuliah lagi hamil ^__^, trus ada juga anak Kimia, yang inimah lupa namanya..
Heuheu taunya daerah MIPA saja siiy, gak tau di daerah lain
btw gak terlalu merhatiin juga dan gak dicatat Cca heuheu.. kan yang penting bukan siapa yang duluan nikah, tapi pernikahan setelahnya yang barokah ...
begitu bukan ya? ^__*
allahu'alam bi showab
hu..hu..hu.. aku terlanjur patah hati...
ReplyDeletetak mau komen lagi.... :p
tiba2 jadi inget pesan bahwa bagaimana pun suami kita, itu adalah yang terbaik untuk kita... bahkan yang abusive pun... *dan aku masih nggak sreg dan bertanya2 untuk yang terakhir*
ReplyDeletelho ko patah hati, kan dirimu selalu dalam hatiku :)
ReplyDeletesetuju bagian yg pertama, tapi tidak bagian kedua hehehe...
ReplyDeletemenurut sepengetahuan rela .. kalo suami dzalim, maka kita berhak untuk membela diri kita..
itulah salah satu hikmah adanya perceraian, sesuatu yang diperbolehkan meskipun dibenci...
agar kita tidak mudah untuk mengambil keputusan cerai, namun ketika memang kondisinya sangat membahayakan jiwa dan keselamatan kita dan keluarga, maka cerai mungkin jawabannya..
bukankah Alloh melarang kita berbuat dzalim dengan mencegah diri sendiri serta orang lain berbuat dzalim terhadap kita?
allahu'alam bi showab
^__^
siip... Menjawab ketidaksreganku... Hatur nuhun...
ReplyDeleteSalam kenal, Mbak :).
ReplyDeleteAwalnya memang sempat juga sih kepikiran, buat apa menyerahkan diri pada seorang 'asing' yang bakalan punya hak banyak sekali atas diri kita.... tapi ya itulah, Allah tahu-tahu ngasih jawaban, bahkan buat saya yang nggak pernah kebayang nikah muda :D.
salam kenal juga Mbak..
ReplyDeleteitulah ya Mbak, Alloh punya skenario yang indah ut memahamkan manusia atas segala hikmah yang ada di dunia :)