Thursday, 30 September 2010

[Xenohobia] In Memoriam seorang Teman


Muka oriental bermata sipit sangat sulit ditemukan di kampungku. Ketika beranjak ke ibukota kabupaten, barulah penduduk kampung bisa bertemu dengan mereka.

Tak adanya komunikasi yang intensif, serta lebih cepatnya isu berhembus, membuat berbagai cerita tak sedap tentang mereka berseliweran di sekitarku.

Aku gadis kampung yang mulai merantau ke ibu kota provinsi ketika SMA, mulai berkenalan dengan teman-teman multietnis. Berbekal didikan kedua orangtuaku untuk tidak berburuk sangka dengan siapapun, maka alhamdulillah akupun bisa berteman dengan teman-teman berbagai suku, termasuk kawan berwajah oriental.

Saat kuliah, lebih banyak lagi teman dari berbagai tempat berdatangan. Teman keturunan oriental pun lebih banyak lagi. Mereka memang dikenal sebagai pribadi yang gigih, sehingga sering menempati prestasi yang luar biasa di kampusku.

Meskipun aku mengenal mereka dengan baik, namun pertemanan kami tidak begitu intensif hingga saya diberi kesempatan bekerja bersama dengan mereka setelah lulus kuliah.

Ya, di Oppinet, sebuah Research Consortium dibawah LPPM ITB kala itu, aku bekerjasama dengan teman - teman yang luar biasa.
di Dufan bersama para Oppinet'ers, Maria tepat disebelahku memakai topi

Salah satunya Maria. Gadis keturunan cina yang luar biasa baiknya. Jarang-jarang kami menemukannya berwajah muram. Kalaulah berwajah muram, pasti karena sesuatu yang membuat hatinya sangat Bete. Tawa renyahnya pun sering terdengar, lucu dan asik. Tangannyapun ringan membantu, membuat si Rela yang paling oon dibidang pemrograman jadi banyak terbantu.

Beberapa tahun kemudian kami harus berpisah. Maria yang cerdas mendapatkan pekerjaan disebuah perusahaan besar di Jakarta. Kamipun lama tidak bertemu dan bertukar kabar. Hingga terdengar berita, Maria sakit kanker darah atau dikenal leukimia.

Sedih? Tentu, sedih yang teramat sangat. Hanya bisa menanyakan kabarnya ke teman kami yang satu pekerjaan dengannya.
Sedih? Sangat, apalagi ketika tidak bisa ikut menjenguk saat dia dirawat di Boromeus, padahal jaraknya dekat dengan tempat kerjaku.

Perjuangannya untuk melawan kanker sangatlah gigih, hingga berobat ke negri Cinapun sudah direncanakan. Namun entah kenapa hal itu tidak jadi dilaksanakan.

Hingga akhirnya berita sedih itu datang, Maria meninggalkan kami untuk selama-lamanya.

Meskipun kedekatan kami tidaklah begitu lama, dan mungkin tidak sedekat yang lainnya. Namun Maria menggoreskan kenangan yang indah dalam benakku. Pribadi yang sangat santun, ceria dan penolong. Membuyarkan isu-isu yang sering berseliweran tentang warga keturunan.

Memantapkan satu lagi panah pelajaran dalam benakku, bahwa kita tidak bisa menilai orang hanya dari isu yang berhembus. Kenalilah dengan baik, maka kau akan menemukan sejuta pesona yang tak pernah kau bayangkan..

in memoriam Maria

-------::----------------
kalo masih sempet, ikutan lagi lombanya Mbak Lessy

[Xenophobia] Johor membiasakan telingaku

Meskipun anak bungsu dari 4 bersaudara, namun aku tidak pernah dipanggil adek, karena adik-adikku banyak. Yup adik sepupuku banyak, sehingga aku lebih dikenal dengan panggilan Teteh. Si Teteh kecil, karena banyak adikku yang lebih dewasa dariku. Oleh karena itulah, aku hanya terbiasa dengan panggilan rela atau Teteh, dan terkadang Neng oleh sebagian teman SDku dan orang tuanya.

--:--
Akhir 2003.

Sesuatu hal membuatku harus berkomunikasi dengan anaknya teman Mamahku. Dia berasal dari daerah yang sama denganku, namun menyelesaikan kuliahnya di Jogja. Budaya Jogja yang santun dan penuh tatakrama membentuknya dan membiasakannya memanggil setiap orang dengan panggilan didepannya. Sehingga begitupun padaku, seseorang yang berusia jauh dibawahnya, dia memanggilku, Dek. Jengah rasanya, hingga dengan cara yang baik kukatakan, aku tidak nyaman dengan panggilan 'baru' itu, serasa masih anak kecil.


Ramadhan 2005.

Pengalaman yang luar biasa, melakukan survey ke sebuah daerah kecil di Provinsi Riau, Zamrud namanya. Kami tinggal ditempat para Insyinyur minyak tinggal kalo lagi di lapangan, apa ya namanya? Kok tiba-tiba lupa.
Selama disana, kebutuhan kamipun terpenuhi dengan baik, dari mulai makan sampai pakaian yang dicucikan. Nah, sebagai jembatan komunikasi maka seorang pemuda usia belum 20an yang kemudian sering datang menemui kami berempat. Entah itu untuk mengambil cucian, mempersilahkan makan, bahkan untuk sekedar mengambilkan hal-hal yang kecil. Dan pemuda itulah yang kemudian memanggil kami, saya dan satu teman perempuan saya dengan panggilan, 'Kaka'.
Pertama kali mendengarnya, kami merasa punya adek tiba-tiba . Maklum, kami belum tahu saat itu kalo panggilan Kaka sangat lazim untuk wanita yang belum menikah di daerah sana. Sama seperti panggilan Mbak kalo di Jawa.
Dan karena dia lebih sering memanggil saya dibandingkan dengan teman saya, jadilah saya suka diledekin ketika dia datang,
"La, tuh adik kamu datang"
Saya cuma nyengir aja saat itu. Yaa namanya juga kami tidak biasa dan tidak tahu.


Awal 2006

Dari kampus, beralih ke perumahan. Terbiasa dikampus dipanggil nama oleh orang yang lebih tua, tiba-tiba ketika bergaul disekitar rumah saya dipanggil Teteh oleh seseorang yang usianya jauh diatasku. Gatel rasanya.


Akhir 2006

Tiba - tiba seorang Bapak yang kukenal memanggilku dengan panggilan, "Bu". Oh nooo, hancurlah rasa percaya diriku


Sekitar 2006-2007

Meskipun sudah biasa orang yang tidak dikenal memanggilku Mbak, namun tidak bagi yang sudah kenal, mereka biasa memanggil nama atau Teteh. Hingga satu adek kecil memanggilku Mbak dengan permanen, dan ketika kubetulkan dengan panggilan Teteh, dia menolak dan tetap pada keputusannya


Januari & Juni 2007

Kaka iparku memanggilku, Dek. Dan adik iparku memanggilku, Mbak.
Akupun menikmatinya


September 2007

Sampailah kami di Johor, awal puasa waktu itu, hingga beberapa undangan buka bersama-pun menghampiri. Saatnya istri dari Teguh Prakoso ini berkenalan dengan tetangganya. Sebelum terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, maka di awal aku sudah berkata pada tetangga-tetangga manisku nan baik hati.
"Nama saya Rela, saya gak mau dipanggil ibu, panggil saja Rela"
Hahaha, sebuah ultimatum di awal perjumpaan.

Meskipun di awal cerita, sudah kutuliskan bahwa aku tidak nyaman dengan berbagai panggilan kepadaku selain Rela untuk yang lebih tua, dan Teteh untuk yang lebih muda, namun berada di Johor memberiku pandangan yang beda.

Aku mulai terbiasa dipanggil Mbak bahkan oleh yang lebih tua. Aku mulai memahami perbedaan budaya. Ketika di tempatku terasa lebih akrab dengan memanggil nama atau panggilan Neng kepada yang lebih muda. Maka aku mengambil kesimpulan, bahwa di tempat lain untuk kesopanan maka panggilan Mbak adalah yang paling nyaman. Meskipun usianya jauh dibawah.

Begitupun dengan panggilan Dek, rasanya lebih hangat saat ini, tak jengah lagi. Tidak merasa seperti anak kecil, namun seperti panggilan kaka pada adeknya.

Negri Melayu apalagi, panggilan Kaka, Akak terdengar dimana-mana. Panggilan untuk seseorang yang sudah akrab, ataupun panggilan kepada seseorang yang masih lajang. Hemmh untuk kesopanan juga. Maka terbiasalah telingaku dipanggil, 'Ka'.

Bagaimana dengan panggilan Ibu? Meskipun aku sudah berulangkali menolaknya, namun panggilan kehormatan itu masih sering terdengar menyapaku. Yaa, di Johor ini aku mulai membiasakan panggilan Ibu mendahului nama asliku. Bagaimana lagi, memang diriku sudah ibu-ibu . InsyaAlloh segera memiliki dua buah hati, tentulah pantas dipanggil Ibu. Meskipun penolakan yang dulu ada itu karena merasa belum dewasa, dan tidak cukup arif untuk menyandang panggilan yang teramat mulia itu, Ibu. Maklum si ibu yang satu ini masih sering berlaku seperti anak -anak

Johor, berkumpulnya saudara-sadaraku dari berbagai suku, membukakan dan membiasakan telingaku atas panggilan-panggilan yang tak biasa sebelumnya. Akupun belajar menikmatinya, dan mengikatkan ukhuwah setelahnya. Merasa memiliki keluarga besar di negri yang jauh dari kampung halaman.

Namun, panggil saja aku Rela, itu cukup untuku


----:----
inspired by Mbak Rinda untuk ikutan lombanya Mbak Lessy kalo masih sempet

Tuesday, 21 September 2010

[Xenophobia] 'Multiply'

Haha, bukan (hanya) karena pingin dapat hadiah dari Mbak Lessy, namun seperti yang pernah saya sampaikan di komen saya ke mbak Lessy (kalo gak salah), bahwa saya memang sangat penakut dan memiliki ragam ketakutan. Tak hanya satu, kawaaan..
Oleh karenanya, sekalian menyelam nyari mutiara, so ketakutan - ketakutan ini akan saya urai menjadi cerita-cerita. Berharap bisa menjadi pelajaran untuk yang membacanya...
aamiin ^__^

Oia saya ambil sisi ketakutan saya yang sesuai dengan Xenophobia saja ya, dimana katanya Xenophobia itu adalah ketakutan terhadap sesuatu yang asing...

Pertama, saya sering takut dan gak pede berada di tempat yang baru. Kepribadian saya berubah total. yang tadinya rame ceriwis, dan gak bisa diam, mendadak menjadi anggun dan penuh wibawa, serta irit berbicara. Ahh ini mah wajar kali ya, banyak yang mengalaminya...

Kedua, saya juga takut mencoba hal-hal yang baru.
Percayalah, bahwa saya memerlukan waktu 3 tahun untuk belajar renang. Keberhasilan saya untuk bisa mengapung di dalam air ini karena kecintaan yang luar biasa terhadap air. Kalo bukan karena motivasi cinta itu, mungkin sampai saat ini saya masih berenang dengan gaya batu.
Motivasi lainnya untuk menaklukan ketakutan terhadap hal yang baru ini adalah adanya kebutuhan yang mendesak. Contohnya saya alami sendiri.
Sewaktu kecil saya tidak berani untuk belajar menaiki sepeda. Sejuta ketakutan menyelimuti hati dan jiwa saya. Hingga sepeda cantik-pun teronggok di gudang, menyedihkan . Akhirnya beberapa tahun kemudian saya merasa wajib untuk bisa mengendarai motor. Karena rumah saya yang terpencil di daerah lembah, sementara usia remaja membuat saya merasa perlu bergaul dan berbelanja kepasar , maka saya merasa harus bisa mengendarai sepeda motor. Ya HARUS!!!
Hingga akhirnya dengan tampak gagah berani, padahal hati menciut, saya belajar mengendarai motor.
Bayangkan, betapa sulitnya seseorang yang tidak bisa menaiki sepeda untuk belajar motor. Orang lain yang sudah mahir sepeda, hanya memerlukan satu kali jatuh untuk bisa lancar menaiki motor. Saya perlu lebih dari 3 kali jatuh untuk bisa menaiki motor dengan aman sentosa . Dan setelah bisa menaiki motor, otomatis ketika saya pinjam sepeda sepupu, saya langsung lancar menaikinya... hahahah...
Alah bisa karena kepepet, mungkin peribahasa ini cocok untuku.

Ketiga, saya takut mencoba permainan baru yang memacu adrenalin saya. Dimanapun itu, baik di tempat bermain seperti Dufan, TMII dll, ataupun ketika outbound. Pertama kali datang ke Dufan, tiket terusan saya mubazir, terbuang tak berarti. Bahkan untuk naik bom bom car dan ontang - anting  saja saya tidak mau .
Lalu ternyata di lain waktu saya berhasil menaklukan hampir semua permainan baru di Dufan. Kawan mau tau kuncinya? Kuncinya adalah, karena banyak teman-teman yang ngajakin dan malu kalo gak ikutan  . Yup, kebersamaan dan perasaan ingin sama dengan yang lain ternyata bisa mengalahkan ketakutan kita terhadap sesuatu yang baru.
Begitupun setiap kali ikutan outbound, muka saya akan memucat karena ketakutan yang luar biasa akan tantangan baru yang harus saya hadapi di depan. Tapi perasaan ketika akhirnya berhasil menaklukannya membuat saya jadi pencinta outbound. Dan percayalah, si penakut ini pernah ingin ikutan pecinta alam semasa SMA, namun tidak jadi karena berbagai alasan.

Keempat, hemmh apa ya? Sebentar difikir dulu? Masih banyak sebenarnya ketakutan saya pada hal yang lain, tapi itu akan membuat saya nampak lemah di mata anda . jadi saya simpan saja dulu ya..

Btw, jangan protes kalo judul tampak tidak nyambung dengan isi. Maksudnya adalah Multi phobia, tapi biar keren dan agak -agak gimanaaa gt, jadi saya plesetkan menjadi 'Multiply'

Have a nice weekend teman-teman, semoga semuanya bisa mengalahkan ketakutan anda setiap harinya....


======
Kalo masih sempat mau ikutan lomba Mbak Lessy

[Xenophobia] Tak bisa memilih

Saya tak pernah bisa memilih, untuk dilahirkan dari suku apa, ayah yang bagaimana, ibu yang seperti apa serta strata sosial yang akan melekat dalam pundak saya. Karenanya, saya belajar untuk tidak berbangga dengan apa yang melekat dalam diri saya. Namun saya senantiasa bersyukur karena Alloh melahirkan saya dengan keadaan saya seperti sekarang.

--***--

Petang itu sepulang dari negri Singa, aku hanya mampu berselonjor lemas di kursi taksi preman* yang membawa kami dari check point ke rumah.

Di awal perjalanan, Supir Taxi mulai bertanya-tanya tentang asal muasal kami. Dia tahu kami orang sebrang, dia ingin tahu lebih lagi dari daerah mana kami berasal. Tanpa ada prasangka apa-apa kami berdua yang memiliki asal muasal yang hampir sama, menjawab pertanyaan Encik Taxi dengan jujur.

Tiba-tiba dia berkata, " Ya dari daerah X (tempat dimana kami berasal) banyak wanita yang tidak baik (menjual diri)." Lalu bla bla bla...kalimat selanjutnya tidak terdengar lagi oleh telingaku, aku merasa sakit, muak dan perih....

---

Perjalanan pendek bersama suami dan teman baiknya. entah membicarakan apa mulanya. Yang kuingat teman baik itu berkata, " Keluargaku tidak mau bermantukan suku X, karena mereka cantik diluar tapi hatinya tidak baik"

Aku yang diam duduk di kursi belakang, hanya diam dan mencoba menata hati. Aku tidak merasa diri ini cantik, tapi ketika dia men-generalisir bahwa suku X hatinya tidak baik, bukankah aku termasuk di dalamnya? Bagaimana mungkin bisa mengatakan seseorang tidak baik tanpa mengenalnya terlebih dahulu.

Perih....

Kemudian suamiku berkata : "Dulu keluarga kamipun tak mau berbesan dengan suku X, soalnya iparnya kaka iparku matre"
Deg, hatiku bergedup kencang, lagi.
"Tapi sekarang tidak lagi", ujarnya menambahkan.
Aah sedikit tenang hatiku

---  

Ya kuakui, memang ada wanita yang menjual diri di tempatku, sama dengan di tempat -tempat lain. Penyakit masyarakat yang harus dicari obatnya.
Namun bukankah di negri nun jauh disana yang menjadi kiblat begitu banyak orang, lebih banyak lagi wanita yang menjajakan dirinya tanoa malu - malu. Bahkan dilindungi dan diakui oleh negaranya. Tapi tak pernah sekalipun ketika mereka datang ke negri kita, kita kemudian men-genelarisir bahwa mereka wanita yang tidak baik, bukan? Bahkan kita memujanya dan berbangga hati dengan kedatangan mereka.
Tak, tak bermaksud agar kita sinis terhadap mereka. Berbuat baiklah dan hilangkan prasangka seperti adanya terhadap saudara dari negri nun jauh disana, begitupun dengan saudara dari negri sendiri

Ya, di tempatku juga ada wanita yang berwajah menawan dan berhati tidak baik. Namun bukankah di tebaran negri dimanapun akan ada saja wanita seperti itu. Tak berbatas suku dan garis negara?

Ya, di tempatku ada pula wanita yang matre, menilai sesuatu dengan uang. Namun bukankah godaan terberat wanita dimanapun adalah harta? Dan yang bisa selamat adalah orang yang mempunyai keimanan dan prinsip hidup yang kuat, tak peduli dari mana asalnya.

Meskipun budaya dan latar belakang mempengaruhi, namun bukankah setiap pribadi itu unik?
Dan saya percaya, tak ada satupun budaya yang mengajarkan seseorang untuk menjadi sampah masyarakat, bermuka manis tapi berhati buruk, ataupun mengagungkan dunia dan isinya. Hanya sebagian oknum yang tertempa dengan cara yang tak lazim yang mungkin memilikinya.

Yang kurasakan selama aku hidup di kaki gunung yang dingin dan subur itu, aku diajari untuk berlaku sopan pada sesama. Aku diajari untuk menghargai dan mensyukuri hidup yang telah Alloh karuniakan. Akupun diajari untuk senantiasa menempatkan Alloh dan RasulNya di urutan pertama.

Meski aku tidak berbangga hati dengan garis keturunan yang Alloh berikan. Namun aku senantiasa bersyukur atas ketetapaNya. Aku bersyukur dikaruniakan kedua orang tua yang sangat rasional dan proposional dalam memandang hidup. Sehingga ketika ada yang melamar anak gadisnya dari suku yang berbeda dengannya, mereka mau menerimanya, meskipun belum mengenalnya. Hanya berbekal kepercayaan bahwa anak muda itu baik agamanya dan akan menjaga buah hatinya dengan penuh amanah. Bukankah Alloh swt berfirman..
"Sesungguhnya, yang paling mulia antara kamu ialah yang paling bertakwa"(al Hujurat, 49:13)

Allahu'alam bis howab


---::---

ikutan lagi lombanya Mbak Lessy niyyy..
http://wayanlessy.multiply.com/journal/item/470/Xenophobia_Lomba_menulis_tentang_Xenophobia
Semoga masih bisa diitung, kalo nggak ya gpp.. semoga bisa ditarik hikmahnya ..^__^

=======
Taxi preman : taksi tapi menggunakan mobil pribadi bukan taxi resmi
check point : tempat imigrasi antar negara berada

[Xenophobia] i'am fly....iiiing &%$#@*#

Duluuu, salah satu cita-cita sampingannya menjadi guide, pramugari, atau pilot, atau kerja di Deplu. Pokonya semua hal yang berkaitan dengan traveling alias jalan-jalan dan melihat dunia luar sangat disukainya.

Duluuu, ketika belum merasakan naik burung besi, dia merasa aneh ketika salah satu sahabatnya memilih naik kereta dibandingkan naik pesawat karena pernah merasakan kejadian 'kecil' yang mengerikan di atas langit.

Mmmh, gak dulu - dulu amat, saya merasa aman dan nyaman

[Xenophobia] Cinta Indonesia?

Tentu

--**---

Dengan kasus yang tengah memanas di tanah air saat ini, maka keberadaanku di negri jiran membawa berjuta kekhawatiran di benak keluarga dan teman-temanku, terutama kekhawatiran mereka atas keselamatanku.
Maka, sebagai WNI yang sedang merantau di negri jiran, ijinkan saya bercerita. Agar terbuka mata, agar terlapangkan hati, agar bisa berfikir lebih bijaksana, bukankah tak kenal maka tak sayang.

Jika sahabat pergi ke negri ini, maka hawa yang terasa adalah hawa indonesia. Yaa, betul. Pas pertama kalinya aku sampai ke negri ini, suamiku, si Mas bilang begini, "Dek, kita sudah sampai di luar negri lho". Aku hanya tersenyum, heuheu gak kerasa, kerasa hawanya masih hawa indonesia. Apalagi perjalanan yang ditempuh hanya beberapa jam, masih dalam itungan hari yang sama kami berada di negri tercinta, kini sudah sampai ke negri jiran.

Begitupun dengan orang-orangnya. Meskipun gaya bicara, budaya, kebiasaanya berbeda, namun kalo ditanya satu-satu asal muasalnya, maka banyak dari mereka yang berasal dari Indonesia. Bukan TKI lho, tapi warga negara malaysia yang orang tuanya asli Indonesia. Bahkan masih ada yang tiap tahun menyempatkan mudik ke Indonesia.

Sebutlah tetangga satu Labku, gadis 'melayu' keturunan Minang. Seorang yang cerdas karena bisa skip jenjang Master, dari degree langsung ke PhD. Menurutnya, hampir setiap tahun dia dan keluarga pergi ke Padang. Ibunyapun masih memasak masakan Minang. Orangtua gadis manis tersebut tinggal di KL. Namun kalo ingin bertemu dengan banyak orang (keturunan) Minang, datanglah ke Negri Sembilan, bahkan katanya di Negri Sembilan bahasanya mirip dengan bahasa Minang.

Orang Jawa? Di Johor ini banyak sekali orang (keturunan) Jawa yang masih memelihara adat-istiadat kejawaannya. Sewaktu menunggui lahirnya Wafa, si Abah kenalan sama Wak Saprin. Seorang keturunan Jawa yang masih fasih ngomong Jawa, hingga mereka berduapun ngobrol dengan bahasa Jawa. Kesenian dari Jawa berupa wayang pun masih dipertahankan oleh keluarganya. Jadi memang banyak orang (keturunan) Jawa disini yang masih memegang kuat budaya Jawanya.

Dan jika di johor ini bertemu dengan orang yang asalnya dari Pontian, atau Batu Pahat, maka ada kemungkinan dia adalah orang (keturunan) Jawa. Pergi ke pasar Awam (umum) juga banyak yang pandai bahasa Jawa. Hihihihi, suka diajak ngomong jawa juga, tapi aku ya ora iso, paling nyengir doang hehe.

Belum lagi cerita Sultan johor yang keturunan orang Bugis, ah yang ini mah gak berani bahas. Soalnya gak kenal sama si Sultan dan keluarganya hehehe.

Jadi, kalo boleh saya berkata bahwa pertalian darah kita dengan negri Jiran ini susah untuk ditarik batas pembedanya. Warna kulit yang hampir serupa, adat istiadat yang hampir sama, makanan pun banyak yang bernama sama, meskipun rasanya tentu agak berbeda. Ada rasa melayu di dalamnya, yang banyak dipengaruhi bumbu India.

Bukankah memang negri melayu dan negri yang sekarang disebut Indonesia ini pernah berada dalam satu kerajaan yang sama? Bukankah memang keterpisahan ini dikarenakan yang satu adalah jajahan Inggris dan tetangganya dijajah Belanda? Jadi siapakah yang memisahkannya menjadi dua negara yang berbeda?

Ketika berbicara tentang budaya, dua negeri bertetangga tentulah memiliki kemiripan budaya. Selain itu, ditambah dengan arus migrasi menambah kemiripan budaya tersebut. Berdasarkan cerita wak Saprin tersebut, memang benar adanya bahwa orang (keturunan) Jawa di sini masih mempertahankan kejawaanya, seperti wayang, reog dll.

Tapi bukan berarti kemudian saya setuju ketika budaya 'Reog'  (dulu) diklaim. Saya tetap tidak setuju dan ikutan gerah waktu itu. Namun ketika kemudian saya berinteraksi dangan orang - orang (keturunan) Indonesia yang berada disini, sedikit banyak saya menjadi mengerti mengapa mereka merasa 'memiliki' budaya tersebut. Karena mereka memang menjaga budaya warisan leluhur mereka dengan baik. Dan langkah yang harus kita lakukan adalah menjaga budaya tersebut agar tetap dikenal sebagai budaya Indonesia, tanpa harus membatasi mereka yang ingin mengembangkan budaya tersebut. Sehingga jika masyarakat keturunan Indonesia di negri lain ingin mengembangkan dan menjaga warisan budaya leluhurnya, dunia sudah tau darimana sebenarnya asal budaya tersebut. Ya seperti barongsai, dimana ada etnis china maka barongsai pun ada, tapi dunia sudah tahu bahwa barongsai adalah milik negri tirai bambu.

Mengenai batik, memang disinipun ada batik. Namun dengan corak yang berbeda dengan corak Batik di Indonesia. Yaa sama seperti di Indonesia, batik juga berbeda -beda sesuai daerahnya. Dan disini, mereka juga mengakui bahwa batik asalnya dari Indonesia, jawa tepatnya.














Gambar batik Indonesia dari sini                             Gambar Batik Malaysia dari sini

Bukan, bukan berarti saya mendukung si negri jiran dalam kisah lama tentang klaim mengklaim itu. Saya setuju banget bahwa Batik harus dikukuhkan sebagai Heritage of Indonesia. Tapi sebagai produk budaya, maka mau tidak mau pesona Batik ini akan menyebar dan akan muncul batik-batik dari negri lain dengan versi yang berbeda. Dan mereka mungkin akan 'mengaku' bahwa ini batiknya, karena merasa sudah ada perubahan dalam motif dan warna sesuai dengan budaya setempat. Yaa kalo dalam paper atau journal mah, wajar kan kalo orang kemudian mengembangkan suatu metode dan mengklaim itu metodenya, selama dia tidak melupakan untuk mencantumkan si 'pembuat' mode yang pertama.

Nah memang permasalahannya waktu itu, si pembuat modifikasi ini 'lupa' atau 'terlupa' mencantumkan asal muasal si batik. Yaa, memang hal ini juga sempat membuat saya esmosi, eh emosi. Tapi setidaknya kejadian ini membuat kita aware dan segera mengukuhkan Batik sebagai  Heritage of Indonesia. Bukan begitu?
 So I definitely and totally agree that Batik is a heritage of Indonesia 

Jadi, apa maksudku menulis panjang noroweco begini? Intinya adalah, bahwa kita Indonesia dan Malaysia memiliki banyak kesamaan. Perbedaan dan perselisihan yang terjadi tentulah bisa diselesaikan dengan jalan yang baik. Yup seperti dua orang yang bersaudara, maka perselisihan adalah bumbu bertumbuhnya jiwa sang adik-kaka.

Isu yang berkembang diantara dua negara tidaklah mencerminkan masyarakatnya. Itu hanyalah petikan api dari segelintir orang yang mempunyai akses terhadap jabatan dan informasi. Orang - orang yang akan mengambil keuntungan terhadap situasi panas yang terjadi.

Seperti yang sudah saya sampaikan diatas, bahwa warga negara malaysia banyak yang berasal dari Indonesia. Mereka masih memegang teguh budayanya, masih menyempatkan untuk pulang kembali ke kampung halamannya. Ya, tepat seperti saudara jauh yang lama tidak bertemu. Kita, memiliki banyak pertalian. Bisa kau bayangkan menembak saudara sendiri? Aah tidak bagi saya.. tak akan pernah sanggup

Perselisihan itu bukan diselesaikan dengan peperangan dan permusuhan sepanjang masa.
Andaikan (naudzubillahi min dzalik) peperangan itu benar-benar terjadi demi sebuah Kedaulatan. Maka betulkah Kedaulatan itu akan kembali menjadi milik kita? Siapakah yang nanti akan diuntungkan? Peperangan akan meminta banyak 'biaya', kesedihan. luka dan juga keonaran.

Andaikan kita yang menang, apakah Kedaulatan itu kembali menjadi milik kita? (Menurutku), jika pemerintah Indonesia masih mempunyai kebijakan yang sama seperti sekarang, kurang tegas, kurang mementingkan keperluan masyarakat, dan masih sibuk dengan perut sendiri, maka peperangan itu hanya akan menjadi sebuah memori pahit saja, karena setelahnya tetap saja Kedaulatan itu akan jatuh lagi. Ketegasan sikap, keadilan dan keinginan untuk mensejahterakan rakyatnya, maka itu akan menjadi modal yang cukup baik dalam mempertahankan dan menunjukan kedaulatan Bangsa. Bukankah menurut hukum interaksi  bahwa sikap seseorang terhadap kita bergantung juga cara pandang dan sikap kita terhadap diri sendiri. Maka (menurutku), tunjukan Kedaulatan itu dari dalam, dengan sikap dengan laku.

Apatah lagi jika kita kalah, maka kerusakan yang akan disisakan 

Namun menang ataupun kalah, kedua negeri serumpun ini akan bersedih dan merugi. Dan tentunya fihak lain yang berkepentingan mengeruk keindahan dua negri ini yang akan tertawa lebar dan menyeringai.

Mengenai kasus TKI, sering hati ini bersedih melihat nasib para TKI yang berada di penampungan. Kebanyakan dari mereka adalah TKI yang di dzalimi oleh majikannya. Dan rata-rata profesinya sebagai PRT, dimana akses kami, masyarakat Indonesia terhadap PRT sangat terbatas. Berbeda dengan para pekerja kilang (pabrik) yang masih memiliki kesempatan keluar dan bersosialisasi dengan masyarakat. Jika sahabat berkesempatan mengunjungi ataupun mendengar kisah mereka, aah sahabat pasti akan berurai air mata. Tapi apakah dengan ini pantas untuk membenci seluruh masyarakatnya? Bukankah di Indonesia juga banyak majikan yang kejam, dan tidak berarti seluruh masyarakat Indonesia seperti itu, bukan? Tekanan yang kuat dari pemerintah kita untuk membuat MOU tentang perlindungan para pekerja, mungkin itu bisa menjadi solusi. Keterlibatan kita, masyarakat Indonesia di negri jiran untuk memberikan bantuan hukum lewat LSM, insyaAlloh merupakan harapan. Kepedulian kita untuk mereka, membuka telinga kita agar bisa mendapat informasi tentang mereka dengan cepat. Sehingga kita juga bisa bertindak dengan tepat.

Adalagi cerita para TKI yang masuk bui dan di rotan, kebanyakan karena menjadi TKI ilegal. Aaah para pejuang yang memiliki keterbatasan ilmu dan informasi, sehingga harus menyebrang ke negri Jiran dengan cara tak halal.

Saya setuju, bahwa tidak bisa selamanya kita menyalahkan para TKI yang berstatus gelap itu. Sesuai peribahasa tak akan ada asap kalo tak ada api. Keberadaan TKI gelap itu tentunya karena keberadaan para toke  yang bersedia memepekerjakan mereka. Karena denganmempekerjakan TKI ilegal, maka para toke itu terbebas dari pajak. Tentulah seharusnya jika para TKI ini dihukum, si toke harus mendapat hukuman yang lebih berat. Dan disini pula peran diplomasi dari pemerintah Indonesia untuk meminta agar dibuat undang-undang yang tegas dan adil, dimana hukuman itu bukan hanya bagi si pekerja tapi juga bagi yang mempekerjakan. Sehingga para toke ini tidak lagi berani mempekerjakan TKI ilegal, so insyaAlloh jika demand berkurang supply pun berkurang. Bukan begitu?

Bisa sahabat bayangkan? Banyak juga diantara mereka, TKI gelap itu adalah pejuang sejati yang sangat sederhana. Banyak diantara mereka yang tidak mengerti bahwa mereka masuk secara ilegal, yang mereka tau saya telah menyerahkan uang sekian J, dan akan mendapatkan kerja berbuah Ringgit. Bila ini terjadi, artinya ada penipuan dari si agen di Indonesia. Nah, disini juga pemerintah yang harus lebih selektif untuk memberikan ijin kepada agen, dan juga melakukan pengawasan yang ketat bagi si agen yang telah memiliki ijin.Karena selain kenakalan dalam hal ijin ini, banyak juga agen yang lalai dalam memberikan hak yang seharusnya diterima oleh para TKI itu.

Selain itu keterbatasan lapangan pekerjaan di Indonesia juga 'memaksa' mereka untuk bertarung di negri jiran. Ini artinya, peran pemerintah untuk membuka lapangan pekerjaan, agar mereka tidak perlu datang kemari. Peran kita juga untuk bisa berkarya, sehingga banyak yang bisa bekerja di negri sendiri.

Mirisnya, ketika jarak yang jauh mereka tempuh untuk mendapatkan rizki yang halal, sesampainya di tujuan mereka mendapatkan pandangan sinis. Bukan hanya dari sebagian penduduk lokal sini, namun dari (sebagian) warga Indonesia yang tinggal disinipun, kerap terjadi.

Mengapa mereka sinis? Pekerjaan rendahan, mungkin itu salah satu alasannya. Padahal serendah apapun pekerjaan itu, seharusnya tidak mengurangi kehormatan seseorang selama pekerjaannya halal.

Namun, terkadang pandangan sinis itu juga disebabkan karena perilaku mereka yang membuat banyak orang risi dan sinis. Tapi (menurutku), hal itu terjadi karena mereka belum tahu bagaimana harus bersikap. Tingkat pendidikan juga tentunya mempengaruhi tindak tanduk dan pola pikir mereka. Bukan mereka bermaksud untuk bersikap 'menyebalkan' dalam pandangan kita, tapi karena mereka tidak tahu, bahwa apa yang mereka lakukan itu membuat orang lain sebal. Bayangkan jika kita, mmh saya aja deh! Ketika saya, si ordinary people tea harus bergaul dengan kalangan Istana Buckingham, maka perilaku sayapun mungkin membuat orang Istana sinis, tertawa lebar dan berharap saya jauh-jauh dari tempat mereka berada. Huwaaa kebayang ngampung nya si Rela ini di lingkungan Istana . Tentulah tindakan saya yang membuat orang istana mencibir itu bukan disengaja, tapi karena saya tidak tahu bagaimana harus bersikap. Ingat telenovela Maria Mercedes yang legendaris itu? Yaa begitulah kurang lebih keadaanya.

Maka, tugas kitalah untuk membantu mereka agar lebih cerdas. Kita? Ya, kita. Masyarakat 'terpelajar' yang ada di negri jiran. Jadi, (menurut saya) solusinya bukan kemudian sama-sama berlaku sinis terhadap mereka, tapi berbuat baik dan membagi ilmu yang kita punya untuk mereka.

Contoh kongkritnya di johor ini adalah IKMI (Ikatan Keluarga Muslim Indonesia). IKMI ini adalah perkumpulan masyarakat Indonesia baik itu TKI maupun pelajar dan expatriate. Dimana para pelajar/expatriate ini memberikan 'bimbingan' kepada para TKI. Bimbingan tersebut berupa kajian rutin keIslaman untuk memberikan pemahaman yang lebih baik kepada para TKI. Selain itu, teman-teman TKI juga dilibatkan dalam berbagai kegiatan untuk menambah skill keorganiasasian mereka, serta sering juga mereka diberikan short course dalam berbagai keterampilan agar mereka mempunyai bekal ketika pulang nanti.
   Pelatihan Montir IKMI kawasan Kulai, dengan trainer para mahasiswa UTM dan peserta para TKI

Masalah lainnya adalah ketika TKI dianggap sebagai 'penyakit masyarakat'. Ya betulan, penyakit masayarakat yang sama seperti di Indonesia. Tidak sedikit para TKI itu yang akhirnya mencari 'tambahan' dengan menjual diri. Tuntutan dan persaingan untuk mendapatkan barang mewah, ataupun gaji yang kecil tapi tuntutan dari kampung yang begitu besar memicu mereka mengambil jalan lain. Atau kadang karena pergaulan yang salah, berada diantara para TKI yang memang bekerja sampingan menjual diri.

Yup, hal ini juga membuat masyarakat setempat juga sinis.

Untuk solusinya maka pemerintah kedua negara harus bekerjasama menanganinya. Sekali lagi, tak akan ada yang berdagang kalo tak ada yang membeli. Bersedianya para TKI itu menjual dirinya, tentu karena ada permintaan. Maka hukuman untuk hal ini harus diberlakukan pada yang 'menjual' dan 'membeli'. Kitapun harus ikut bertanggung - jawab. Nah lhooo, kok kita lagi? Ya, sekali lagi sebagai seseorang yang diberikan kelebihan dari Alloh swt berupa amanah ilmu, kefahaman dan kelebihan, maka alangkah baiknya jika kita mau membaginya dengan saudara kita para TKI. Bersama-sama memperbaiki diri.

Jadi, Cinta Indonesia? Tentu.

Dengan segala keterbatasan yang saya punyai, maka saya haturkan kecintaan saya ini lewat keterlibatan saya dengan (sedikit) TKI di Johor. Mengapa sedikit? Karena saya baru mengenal sedikit, dan masih banyak kawan TKI yang belum saya kenal, dan belum terjangkau oleh IKMI.

Saya setuju dengan pendapat Aa Gym, bahwa sesuatu itu dimulai dari diri Sendiri, dari Sekarang, dan dari hal yang Kecil. Ketika kita berharap bahwa pemerintah melakukan perbaikan, maka harapan itu tak akan bergerak ketika kita diam saja. Saya bukan politisi, saya juga bukan jutawan. Yang bisa saya gerakan adalah anggota badan saya sendiri.

Karena saya seorang pelajar, maka yang bisa saya lakukan adalah memberikan sedikit ilmu yang saya punya pada mereka melalui IKMI. Berharap ada perubahan ke arah yang lebih baik. Berharap mereka mempunyai bekal ketika pulang nanti, dan tak usah kembali mencari Ringgit disini. Jika rasa rindu menyeruak diantara kami ketika kami berpisah, cukuplah rasa rindu itu terobati ketika kami bertemu di Indonesia, nanti. Bukan dengan beraharap mereka kembali kesini. Karena sesungguhnya begitu banyak ujian, cobaan dan ketidak pastian yang akan mereka hadapi disini.

Itulah bukti Cinta saya kepada negeri Indonesia tercinta. Bukan dengan berdemo mengajak perang dengan negeri Jiran, tapi berbuat sesuatu untuk memperbaiki kondisi teman-teman TKI sebisa saya. Agar mereka memiliki kehidupan yang lebih baik, InsyaAlloh.

Inilah sedikit bukti nasionalisme saya, nasionalisme yang tidak berbatas garis pembatas negeri, nasionalisme yang berdasarkan cinta dan perbaikan untuk sesama.

Dan jika sahabat bertandang ke negri ini, berjalan-jalan menyusuri tempatnya. Maka banyak hal yang bisa sahabat peroleh, dan pelajari. Tak usah sungkan untuk belajar dari negeri yang dulunya belajar dari Indonesia. Yang Memiliki Ilmu itu adalah Alloh swt, maka carilah ilmu dimanapun kita temui. Jujur, memang banyak hal yang kurang disini dan di Indonesia lebih baik, namun sebagai sebuah negeri yang tidak sempurna, maka banyak hal juga yang bisa Indonesia pelajari dari negeri jiran ini.

Sebelum terpicu dan terpancing untuk baradu jotos dengan negri serumpun, baiknya kita menyaring informasi, berpikir tenang dan panjang. Jangan biarkan media memanasi kita.

Kalaupun kita mendengar sebuah tindakan pemerintah negri Jiran yang membuat hati panas, percayalah InsyaAlloh itu bukan gambaran seluruh masyarakat disini. Masyarakat yang saya, kami kenal disini sangat baik. Ketika beberapa kali isu panas antara Indonesia dan Malaysia menyeruak, tak pernah sedikitpun mereka menyindirnya, membahasnya apalagi men-sweeping kami. Meskipun gaya berbahasa yang berbeda, namun sesungguhnya kebanyakan dari masyarakat sini ramah, senang menyapa dan bersilaturahim. Sama seperti masyarakat kita pada umumnya.

Sahabat tahu? Selepas Lebaran ini saja, banyak jemputan* Raya menghampiri kami. Menghibur kami yang tidak bisa mudik ke kampung halaman tahun ini .

Jadi jika sahabat, kawan kawan, saudara dan handai tolan mendengar ada berita miring atau isu panas menyergap dari negri Jiran. Berpikirlah tenang, cari informasi, bukan grasak grusuk ngajakin perang . Biasanya isu itu dilemparkan oleh segelintir orang, yang punya kekuasaan tentunya. Orang-orang yang tidak ingin negeri serumpun ini bersatu.

Kenalilah budayanya, masyarakatnya, maka insyaAlloh banyak kebaikan yang mereka punyai yang bisa kita ambil pelajaran. Begitupun ketika ada kebaikan dari kita, maka kita bagikan. Kita harumkan nama bangsa ini lewat pribadi-pribadi kita..

Dan ketika ada berita tentang kekejaman sebagian masyarakat sini kepada TKI kita, selain merasa sedih dan marah, maka berpikirlah rasional. Bahwa tidak semuanya seperti itu. Memang ada yang bersikap kejam, sama seperti di Indonesia ada orang yang berakhlak tidak baik. Dan yang kita hukum dan benci adalah pelakunya saja, bukan keseluruhan masyarakatnya.

Berfikir arif, tenang, dan bijak. Serta menghormati bangsa sendiri, maka insyaAlloh negara lain akan segan dan menghormati Kedaulatan negri kita. Karena terkadang, kita sendirilah yang menghancurkan Kedaulatan negri sendiri.

Allahu'alam bi showab.
Aku    Indonesia

---------------------------------------------------------------------
memberanikan diri ikutan lombanya Mbak Lessy...
http://wayanlessy.multiply.com/journal/item/470/Xenophobia_Lomba_menulis_tentang_Xenophobia?replies_read=36

maaf kalo masih ada salah kata dan ucap, sebentuk cinta untuk negri yang selalu terkenang dan terpatri dalam dada, negri yang membuatku dewasa dengan segala pernak perniknya..
aaah kangeeeeeeeennn...

====
keterangan
jemputan = undangan
toke = majikan
noroweco = ngomong terus
cttn : ada informasi juga bahwa batik itu berasal dari India... hmmhh

kalo ada yang belum di translate, ngacung yaaaa!

[Xenophobia] Lelaki Asing

Menjadi ibu adalah cita-cita utama yang senantiasa bertengger dengan manis dalam benakku sedari kecil, meskipun cita-cita sampingan lainnya selalu datang dan pergi. Hingga si Rela kecil inipun mempunyai keinginan untuk menikah muda. Ya, menikah muda  . Salah satunya karena berharap bisa menjadi ibu lebih cepat dan juga agar perbedaan usiaku dengan putera-puteriku nanti tidak terlalu jauh.

Usia beranjak, dan cerita tentang kehidupan nyata dalam sebuah pernikahanpun kuketahui. Ada yang langsung bercerita padaku ataupun mereka menceritakan tentang masalah orang lain. Terkadang, ada beberapa cerita yang tak sengaja kudengar. Maklum, mereka menganggapku anak kecil yang tidak akan sebegitu perhatian terhadap obrolan mereka, tapi nyatanya entah kenapa kupingku selalu menangkap apa yang mereka bicarakan. Bukan bermaksud 'nguping' ya, tapi memang terdengar  

Dari semua cerita yang menghampiri dan memasuki pendengaranku,hampir semuanya berisi tentang masalah. Dan dari semua masalah yang terungkap, saat itu aku mendapat kesimpulan bahwa 'Laki-laki egois, mau menang sendiri, harus selalu dituruti, dan gak mau mengakui kelebihan istrinya'  

Weisssssssssss dahsyat banget ya prasangkanya. Tak bagus memang. tapi entah kenapa kesimpulan itu bertengger di kepalaku. Tak semua laki-laki tentunya, tapi sebagian besar, most of them, specially a Man form Indonesia  

Sebenarnya, bagiku tidak masalah untuk ta'at terhadap siapapun selama hal yang harus kutaati itu memang layak untuk dita'ati. Tak masalah juga kalo aku harus mengalah, asal bukan mengalah untuk sesuatu yang prinsip. Yang menjadi masalah adalah, ketika keta'atan itu harus 'saklek', tanpa penjelasan yang rasional, hanya bermodalkan kata 'Istri wajib Ta'at pada suami'. Oh noo, I am not agree . Terkecuali dalam hal yang berhubungan dengan hukum agama ya, maka kuartikan keta'atan kepada suami adalah keta'atan kepada Alloh swt

Memang (kuakui) dari kecil si rela ini tidak bisa kompromi sama anak cowok yang seenaknya, mau menang sendiri, dan semena-mena. Pasti kulawan , walaupun harus sambil menangis . Seriuuusss lho, kalo tanya sama temen SDku, aku paling sering menangis, bahkan dikatakan cengeng. Kenapa? Salah satunya karena tidak mau mengalah dan senantiasa melawan, tapi dengan diiringi air mata yang mengalir deras dari mataku hehe

Nah, prototype bahwa kebanyakan lelaki itu egois, mau menang sendiri dan susah diajak berdisukusi mulai menghantui alam sadar dan bawah sadarku. Sehingga, hal ini mempengaruhi juga keinginan untuk menikah muda itu.

Coba bayangkan ketidak sinkronan ini, ingin menikah tapi takut jika sang pasangan hidup adalah lelaki yang egois dan tidak rasional, hanya mengedepankan 'kelelakiannya' saja.

Gak nyambung kan? Bagaimana mungkin menikah, tapi takut dengan lelaki. Masa menikah dengan perempuan, Haram itu namanya

Mungkin akan timbul pernyataan ini, 'Pilihlah lelaki yang tidak egois, kenali dia baik-baik'.

Seberapa jauhkah kita bisa mengenal calon kita?

Berdasarkan hasil pengamatan, seberapa lamapun seseorang itu berkenalan atau berpacaran dengan calonnya, maka masa pacaran itu tidak bisa memberikan jaminan bahwa si calon sudah dikenal seutuhnya. Banyak hal -hal yang tidak terduga yang baru diketahui pasangannya setelah menikah.Begitupun dengan orang-orang yang menceritakan atau terdengar masalahnya ditelingaku, mereka mengalami masa pacaran dahulu sebelum menikah. Jadi pacaran atau tidak, lama atau tidak, bukan jaminan kita mengenal baik pasangan kita.

Selain itu, ketika saatnya usiaku memasuki tahap pantas menikah, alhamdulillah Alloh memberikan pemahaman, bahwa pengenalan pada suami yang intensif adalah setelah akad terucap. Dalam pemahamanku, bahwa islam tidak mengenal pacaran sebelum menikah.

Kefahaman tentang tidak adanya pacaran itu juga makin menguatkan keinginanku untuk menikah muda. Karena jujur, sebagai manusia biasa sering terlintas 'iri' dalam benakku ketika melihat seseorang berpacaran. Iri karena ingin juga bisa berjalan bersama dengan seseorang, bergandengan tangan, menceritakan kisah hari-harinya kepada pasangannya, namun tentu saja dengan seseorang yang sudah halal di hadapan Alloh swt.

Namun sekali lagi, ketakutan tentang lelaki asing, seseorang nan egois masih bertengger setia dalam benaku. Jadi, meskipun keinginan menikah itu ada, namun tidak pernah terungkap, tidak pernah diusahakan, dan tidak terealisasi tentu saja. Karena diriku masih takut akan sosok lelaki asing nan egois.

Hingga ketika ada lelaki yang baik berniat baik terhadapku, wajahku memucat, berkerut dan hari-hariku menjadi muram. Ya muram, sahabatku tau tentang itu. Muram karena aku merasa bingung. Dia lelaki yang baik, tidak ada alasan untuk berkata tidak, namun hatiku dihinggapi rasa tak tenang yang begitu dalam. Hingga sahabatkupun berkata,
"Pasangan itu seperti puzzle, yang akan saling mengisi satu sama lain. Tak mestilah puzzle yang pas dengan puzzle kita itu adalah puzzle yang paling bagus"
Begitulah, akhir yang bisa ditebak.

Lama waktu berselang, aku menyadari bahwa keputusaanku saat itu karena aku masih menyimpan ketakutan akan sosok laki-laki asing nan egois. Memang tidak ada yang salah dengan dirinya, hanya diriku memang belum siap kala itu, belum siap secara psikologis menerima seorang yang asing dalam hidupku.

Keputusan yang tidak pernah kusesali, karena kuyakin Alloh pastilah mempunyai rencana yang indah untukku, Dia mengajariku dengan kehidupan dan pengalaman. Hingga akhirnya aku siap, nanti.

Mengenali diri sendiri, itulah kurasa salah satu kunci untuk menyelesaikan berbagai pertanyaan hidup. Begitupun untuk mengatasi ketakutanku akan sosok Lelaki asing, sang qowam dalam hidupku. Aku takut jika aku harus menta’ati sesuatu yang tidak sesuai dengan hatiku, dengan pemahamanku, dengan keyakinaku. Maka kumerasa bahwa aku harus mencari lelaki yang mempunyai visi yang sama denganku.  Adalah sulit bagiku untuk ta’at dengan penuh keihklasan jika tanpa kefahaman. Olehkarenanya aku harus faham atas setiap permintaan yang terucap dari qowamku, artinya aku harus mencari orang yang sefaham denganku, agar mengurangi berbagai friksi yang terjadi nanti, semoga. Dan juga tentu saja memudahkanku untuk mencari pahala syurga, dengan bentuk keta'atan yang penuh keikhlasan pada suamiku kelak.

Begitulah, perjalanan untuk menghilangkan ketakutan akan sosok lelaki asing nan egois memasuki tahap mencari seseorang dengan visi yang sama. Tak peduli suku, kekayaan, tampang maupun lingkungan. Sebuah ikhtiar untuk mengalahkan ketakutan. Karena aku sadar, aku harus segera menyembuhkan ketakutanku ini. Karena, pernikahan adalah sesuatu yang sunah dan bisa menjadi wajib tergantung kondisi. Dan itu akan sulit jika ketakutan itu masih bersemayam dalam benakku.

Pencarian seseorang yang se-visi ini haruslah sejalan dengan perbaikan diri. Ya memperbaiki diri sendiri terlebih dahulu. Bukankah Alloh akan memasangkan seseorang yang sepadan dengan kita?
"Perempuan-perempuan yang keji adalah untuk yang keji pula dan laki-laki yang keji untuk wanita-wanita yang keji, sedangkan wanita-wanita yang baik untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik juga diperuntukkan bagi perempuan-perempuan yang baik….” (QS.24:26)".
Maka tak pantaslah rasanya kita meminta seseorang yang baik, jika kita tidak berusaha memperbaiki diri kita. Bukan hanya semata-mata untuk mendapatkan jodoh tentunya, tapi untuk mendapatkan posisi yang terbaik di hadapan Alloh, insyaAlloh.

Masa pun berjalan, beberapa niat baik pun terlewat karena visi. Ya, visi yang berbeda, cara pandang yang berbeda, terutama cara pandang mereka tentang muslimah dan perannya sebagai hamba Alloh swt. Point itu menjadi penting bagiku, karena aku seorang hamba Alloh. Dan bukankah tujuan hidup kita adalah untuk menyembah padaNya?

Ikhtiarku untuk menyembuhkan ketakutanku tidak berhenti hanya dengan mencari seseorang yang se-visi, tapi juga dengan membaca banyak buku, diantaranya buku tentang pernikahan. Mempersiapkan diri tentang kehidupan seperti apa yang nanti insyaAlloh akan kujalani, kujalani selama sisa hidupku.

Aku juga berusaha untuk makin mengenal Rabb-ku, karena kusadari bahwa jawaban dari semua ketakutanku adalah adanya keikhlasan dalam hatiku. Ya sebuah keikhlasan akan pilihan yang nanti Alloh tetapkan, siapapun dia egois atau tidak. Aku juga harus belajar lagi untuk senantiasa berhusnuzhon terhadap semua rencana Alloh. Bukankah setiap rencanaNya pasti berakhir dengan indah? Hanya saja, sering kita terlalu berprasangka buruk, dan merasa takut akan perasaan yang kita timbulkan sendiri. Seperti ketakutanku akan sosok lelaki asing itu.

Proses penyembuhan yang yang panjang dan lama, mempersiapkan jiwa yang rapuh. Bukan hanya menyembuhkan ketakutan akan sosok asing. Tapi menguatkan dan memahamkan keikhlasan dan rasa tawakal lebih dalam lagi pada jiwaku. Keikhlasan dan tawakal, kunci akan ketakutan terhadap hal-hal duniawi. Proses yang tak pernah kuyakini pasti kapan akan berakhir dan kapan aku akan dinilai siap. Aku hanya percaya, Alloh punya skenario yang baik dan terindah untukku.

Hingga tiba saatnya satu amanah datang lagi menghampiriku. Amanah diatas beberapa lembar kertas yang harus kupelajari baik-baik, kupertimbangkan dan kuberikan keputusan.

Saat itu aku merasa mungkin kini tibalah saatnya, saat dimana Alloh telah mempersiapkan jiwaku untuk SIAP. Ya serta merta tanpa banyak pertimbangan dan tanpa tahu apa alasannya aku merasa siap untuk definisiku saat itu. Aku siap untuk menerima lelaki asing dalam hidupku, insyaAlloh.

Meskipun aku tidak mengenalnya sebelumnya, dan tentunya tidak tahu apakah dia seorang yang egois atau tidak. Namun berbekal kepercayaan bahwa dia seorang yang baik dan dipilihkan oleh orang yang baik, maka saat itu aku yakin aku insyaAlloh SIAP dengan sosok lelaki asing, siapapun dia. Aku kuatkan hatiku bahwa Alloh pasti akan memberikan yang terbaik menurutNya. Bukankah aku telah meminta padaNya kriteria seperti apa yang kuinginkan, aku telah bercerita, aku telah mengatakan pada Rabb Semesta Alam. Sekarang tinggal menunggu, menunggu keputusan apa yang terbaik yang akan Dia berikan padaku.

Tapi ternyata cerita masih harus berlanjut. Alloh mengujiku, sedang menempaku dengan proses yang kujalani itu. Proses yang berakhir dengan tidak baik, dan cara yang juga tidak mengenakan.

Kecewa ?  Tentu, sangat kecewa. Tapi bukan kecewa karena  tidak berakhir dengan baik, ataupun karena aku telah memiliki rasa padanya dan ingin bersanding dengannya. Tapi kekecewaan yang sulit di definisikan dengan kata-kata dan mungkin sulit dimengerti oleh yang lain.

Aku kecewa karena, aku telah terlanjur menaruh harapan yang begitu tinggi pada sosok lelaki yang tampak shalih dari luar. Aku menaruh dalam pundak mereka sebuah kesempurnaan, sebuah visi yang jauh mengangkasa ke langit. Sosok penerus para Nabi, menyebarkan kebaikan di muka bumi. Aku lupa bahwa mereka adalah manusia, yang memiliki ketertarikan tersendiri, sisi kemanusiaan yang tidak mungkin dipungkiri. Sosok lelaki shalih di zaman ini tak lah sesempurna manusia agung, Muhammad Rasulullah saw. Dan begitupun dengan dirinya, dia tidak sempurna, dia menunjukan sisi kemanusiaanya, sehingga cerita kami berakhir pada sebuah akhir yang tak enak dipandangan manusia.

Saat itu aku ditempa, aku diajari, dan aku disiapkan oleh Rabb pemilik jiwa, bahwa dibalik perasaanku bahwa aku SIAP, ternyata Alloh masih menilai ada yang kurang dariku. Aku masih mempunyai angan yang terlalu tinggi dan tidak manusiawi terhadap seorang manusia biasa. Alloh lebih menyiapkanku lagi dengan peristiwa ini, mentarbiyahku lagi, bahwa siapapun Qowamku nanti, dia adalah manusia biasa, sama sepertiku. Seseorang yang masih diliputi berjuta sisi kemanusiaan, yang bahkan mungkin tak terbayangkan sebelumnya.

Dan sekali lagi, aku bersyukur atas tempaanya. Karena dilain hari aku menyadari, bahwa Alloh juga telah mengabulkan do’aku dengan peristiwa itu. Do’aku agar aku memiliki pendamping yang se-visi, dan ternyata kejadian itu menunjukan bahwa dia tidak se-visi denganku. Alloh Maha Tahu, bukankah begitu?

Meski akhirnya kusadari hikmah yang begitu besar atas kejadian itu, namun tetap saja pada mulanya kejadian itu menimbulkan rasa ketakutan terhadap Lelaki asing nan egois yang tadinya mulai sembuh, sedikit muncul kembali. Aku mengalami masa kerapuhan, masa dimana aku tidak lagi bisa mempercayai sosok laki-laki manapun, bahkan laki-laki dengan visi yang sama denganku. Adakah lelaki yang baik, yang menggantungkan cinta hanya pada RabbNya?

Namun, Alloh kembali mengingatkanku melalui seorang adik manis dan lugu. Dia mengingatkanku kembali akan arti keikhlasan dan rasa tawakal, serta untuk senantiasa berhusnuzhon pada Alloh swt dalam kata-kata sederhanya. Hingga setelah berbincang dengannya, aku merasa kembali siap, ya siap untuk kembali menerima lelaki asing dalam hidupku, lelaki asing yang memang telah Alloh takdirkan untuk menjadi pendampingku, nanti.

Usia 25 tahun lebih 4 bulan, Alloh mengijinkanku untuk menggenapkan separuh dienku. Bersama lelaki yang tidak kukenal, dan tidak kuketahui riwayat keegoisannya. Apakah egois atau tidak.

Menjelang empat tahun pernikahan kami, ternyata hidup bersama lelaki asing itu tidaklah begitu mengerikan. Tentu ada tangis, ada kesal, ada marah dan juga dipenuhi dengan ketidaksempurnaan. Tapi ternyata kehidupan yang indah telah Alloh hadirkan, selama rasa syukur selalu menyelimuti hati kami berdua. Selama rasa ikhlas dan tawakal selalu mengiringi terhadap setiap keputusan yang Alloh tetapkan, serta selama husnuzhon masih bertengger dalam jiwa kami.

Pembentukan pemahaman yang begitu lama, menghabiskan waktu, kesabaran dan air mata. Sebuah tarbiyah yang tidak pernah kusesali, namun senantiasa kusyukuri. Mungkin aku bukan pemenang lomba menikah termuda. Tapi aku yakin, kapanpun saat kita menikah, itulah saat terbaik yang Alloh berikan untuk kita.

Xenophobia akan lelaki asing nan egois, mengantarkanku pada lika liku perjalanan kedewasaan yang panjang yang Alloh swt berikan. Membuatku lebih arif dalam memandang hidup. Bahwa tentu saja sebagai  seorang manusia kita senantiasa dihinggapi berjuta perasaan takut. Namun, rasa takut itu harus kita cari obatnya, bisa yang instan ataupun lama dan penuh perjuangan. Mana-mana yang terbaik yang bisa kita usahakan. Dan tentunya dengan penuh keyakinan bahwa Alloh akan setia mendampingi selama prosesnya.
 
Satu point penting lagi, perjalananku mempersiapkan diri menerima lelaki asing itu membuatku bisa lebih bijak memandang pernikahan. Bahwa kesiapan antara satu orang dan yang lainnya untuk menikah tidak bisa disamaratakan. Tak bisa kita mengojok-ojok orang untuk menikah seenak udel kita. Masing-masing kita berproses menuju kedewasaan serta kesiapan. Dan menikah memerlukan kesiapan dan kedewasaan psikologis, sosial, materi dll.  Itu menurutku.

Alhamdulillah ala kuli hal...


-::-

Mbak Lessy ikutan lagi yaa... Mau ikutan? Klik disini

Monday, 6 September 2010

ibu cerewet?

haha ini mah bukan mo ikut-ikutan teh kathy .. ^___^
hanya sebagai ibu saya merasa harus sangat kritis dan cerewet atas apa yang akan saya 'berikan' pada anak saya..
baik itu makanan, minuman, tontonan, pendidikan, cara pengasuhan dsb dsb..
itulah kenapa saya banyak searching tentang anak meskipun belum menikah, saya sangat suka artikel yang menyangkut anak dari sejak dulu kala..
*siga sudah sepuh pisan kieu nya...

Meskipun tidak/belum mampu melaksanakan apa yang dianjurkan secara optimal, tapi saya berusaha.. ya berusaha...
Saya merasa tak nyaman kalo hanya mengikuti kebiasaan turun temurun, ataupun berdasarkan katanya ... katanya yang gak jelas sanadnya..
Tapi itu bukan berarti saya tidak mau menerima nasihat. Tentu saja saya terbuka menerima nasihat, tapi tentu saja saya harus tahu alasannya, manfaatnya dsb dsb..
Sebisa mungkin, saya harus tahu dan yakin mengapa saya ambil keptusan A.. atau B .. atau bahkan pun ketika saya belum mengambil keputusan..

Kenapa...???

Karena anak adalah amanah utama seorang ibu..
Jika kita mampu bersikap profesional terhadap amanah kita sebagai pegawai, student dan yang lainnya...
Bukankah kita harus lebih profesional dalam mengemban amanah kita sebagi ibu?
Karena pertanggung jawabannya pd sang Khalik, pencipta setiap jiwa...

Jadi kata siapa kalo Ibu itu pekerjaan yang biasa-biasa saja?
Itu adalah amanah yang sangat agung, yang sangat besar..
Karena dari tangan ibulah akan lahir suatu generasi.. masyarakat...
Kepribadian Ibu, sedikit banyak mempengaruhi cermin kehidupan di masa selanjutnya...
Oleh karena itu, saya harus menjadi ibu yang kritis, yang cerewet, yang cerdas, yang berjuang untuk mewujudkan generasi yang baik...

Wallahu'alam bi showab...

Ayoooo Relaaaaaaaaaaaa berjuaaaaaaaaaaaaaanng !!!

**biasaaaa setelah baca blog seorang Teteh, dan juga dalam rangka menyemangati diri sendiri agar baca-baca lagi tentang baby untuk si dedek caby(calon baby)....
Maaf Nak, si Ummi sudah lupaaaa ..., harus di reset or install ulang? terlalu overload kayaknya